BerPancasila di Era Digital – Kemampuan mengadaptasi kemajuan digital memiliki hubungan yang erat dengan kemajuan suatu bangsa dalam berbagai aspeknya. Dimana semakin tinggi dan semakin cepatnya daya adapatasi suatu bangsa terhadap digital, akan semakin berpeluanglah bangsa tersebut untuk dapat lebih maju, bahkan lebih sejahtera.
Disebut demikian karena era serba-digital atau dalam istilah lain era digitalisme 4.0 — agaknya telah menjadi bagian dari masa depan peradaban dunia (world civilization) yang tak mungkin dihindari apalagi untuk dilawan.
Bahkan terhadap era ini kerap para pemerhari peradaban menyebut “anda mengadaptasi atau anda akan terlindas“– yang berarti mengikutinya telah menjadi sebuah keniscayaan. Problem terbesarnya dalam konteks kita di Indonesia adalah ketika secara ontologis dan epistemologis, kita masih memandang atau bahkan meyakini kalau era digital ini benar-benar merupakan sesuatu yang baru dan sengaja diimportasi dalam rangka percepatan globalisme dengan tema lompatan laju peradaban.
Asumsi dan keyakinan ini, dalam tataran tertentu, di waktu tertentu, oleh golongan dan generasi tertentu — telah disikapi secara keliru. Betapa sering kita kemudian merasa ‘gerogi’ atau ‘tidak pede’ saat berhadapan dengan fitur-fitur, fasilitas, layanan, kecanggihan atau bahkan kenikmatan yang ditawarkan oleh media-media digitali ini– yang kemudian membuat kita seolah terhegemoni atau bahkan ter-hipnotis hingga lupa jati diri atau bahkan lupa eksistensi.
Lihatlah kondisi kita saat ini, dimana betapa banyak orang yang telah menggantungkan mata lencaharian, hiburan, ketenangan, kemarahan, kekesalan, kebahagiaan, kreasi dan kreatifitasnya semata-mata kepada fasilitas digital ini— yang pada akhirnya ia menyerahkan keseluruhan karakter bahkan eksistensinya kepada hukum-hukum yang dibangun digital tersebut.
Memanglah, terdapat nilai-nilai baru positif yang lahir bersama hadirnya digital ini seperti akurasi dan transparansi, kecepatan dan efesiensi, kemudahan dan efektifitas. Adapaun nilai-nilai ini sangat penting dan memang sedang dibutuhkan oleh manusia vis a vis aktifitasnya dalam menyahuti tantangan era modern, posmodern, dan post-truth ini. Tetapi harus diingat pula bahwa hingga saat ini, secara umum hukum digital yang hadir di Indonesia dengan berbagai fasilitasnya masih berupa import (dari luar negeri) baik konsep, fitur, design hingga satelit yang mewadahinya.
Dalam statusnya yang demikian, tentu saja secara ontologis, epistemoligis, dan aksiologis, akan ditemukan bahwa pengembangan teknologi digital tersebut, tidak mungkin dapat lepas dari pembobotan pandangan dunia (worldview) pola pikir, ideologi, bahkan budaya yang berlaku dimana dan oleh siapa ia dicipta.
Memang, dapat dipastikan bahwa dalam hukum dagang, maka suatu produk mesti based on kebutuhan pasar baik trend maupun psikologinya. Tetapi, sebagai produk yang cenderung masih made in negara-negara besar yang diduga masih memiliki hasrat meng-hegemoni– maka patut diduga adanya pengkemasan ideologisasi serta akulturasi dalam setiap karya dan produk yang dicipta.
Menyadari hal itu, maka suatu bangsa— apalagi yang masih cenderung sebagai konsumen (user) digital seperti Indonesia tidak boleh lengah dan menerima begitu saja produk digital yang masuk dari luar. Perlu ada upaya filterasi dan akulturasi yang ketat agar digital ini benar-benar hadir dalam bentuknya yang objektif dan bebas hegemoni nilai– hingga kemudian dapat diboboti dan diasimilasi dengan prinsip, nilai dan norma dimana dan untuk apa ia akan dipakai dan digunakan.
Seseorang atau suatu bangsa harus terpastikan telah memiliki kesadaran ideologis, kesadaran teologis, kesadaran budaya, kesadaran logis, serta kesadaran kritis ketika harus berhubungan atau harus menggunakan atau harus memasuki era digitalisentris ini.
Budaya digital tidak boleh menjadi identitas baru dan menjadi ‘isme’ baru— tetapi harus hadir mengokohkan identitas yang ada baik secara ideologis, teologis maupun sosiologis. Digital harus hadir sebagai wadah dan media dalam rangka percepatan penyempurnaan aktualisasi ideologi, teologi, dan budaya kita. Memang harus diakui bahwa, tanpa revolusi industri yang menjadi cikal bakal digitalisme, peradaban Eropa dan Barat tidak akan mampu bergerak dan berkembang demikian cepat hingga memperoleh kegemilangan seperti sekarang ini.
Begitu pun juga, sulit membayangkan terjadinya lompatan laju budaya dan peradaban kita jika tanpa mengadopsi hukum-hukum baru yang ditawarkan teknologi-digital ini.
Namun harus tetap diingat bahwa, dalam konteks di Indonesia yang telah memutuskan untuk membuka diri terhadap digital ini, maka penting memastikan agar Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan sejumlah prinsip dan nilai yang dikandungnya harus terlebih dahulu termanifestasi sebagai pengawal worldview, paradigma, budaya, jati diri, dan citra diri kita sebelum kita benar-benar memasuki era digitalisntris itu.
BerPancasila di Era Digital
Pancasila harus hadir sebagai saksi menegaskan mana yang patut dan tidak patut diadaptasi dari nilai yang diimportasi ke Indonesia lewat fasilitas digital tersebut. Pancasila harus benar-benar dapat hadir sebagai daya filterasi dan daya akulturasi terhadap setiap nilai yang masuk agar dapat beradaptasi dengan kearifan nilai lokal kita. Tidak hanya itu, Pancasila dengan dimensi universalitas dan elastisitasnya perlu hadir untuk memediasi terjadinya akulturasi antara budaya impor dengan yang ada di lokal negara kita.
Bahkan, pada tingkatan tertentu, ia harus hadir sebagai benteng pertahanan dari unsur-unsur hegemonisasi yang mungkin menyusup atau tersusupkan ke Indonesia atas nama digital ini.
Pancasila sebagai ideologi harus mengalir dan memanifestasi secara hirarkis mulai dari ontologis ke epistemologis seterusnya ke aksiologis. Dari spiritualis ke teologis seterusnya ke ranah ideologis, logis hingga yang etis dan praktis. Untuk itulah penting menurunkan Pancasila dari aspek mistis menuju pradigmatik. Dari paradigmatik menuju konsepsi teoritik hingga dapat dijadikan sebagai landasan praktis termasuk dalam beradaptasi dengan era digital yang sudah masuk ke hampir seluruh relung kehidupan berbangsa bangsa.
Untuk tujuan ini, maka ‘pekerjaan rumah’ kita yang mendesak adalah merumuskan istilah, slogan dan tagline baru yang akrab dengan alam pikir pengguna digital tetapi based on nilai dan prinsip Pancasila yang dapat mengawal setiap fasilitas yang dimiliki digital.
Agar aktualisasi Pancasila dapat berlaku secara epektif, perlu ada notes based on Pancasila pada setiap game digital yang dibangun, begitupun dengan fitur-fitur bisnis, budaya, gaya hidup yang ditawarkan hendaknya dkawal dengan catatan-catatan penting yang disari dari Pancasila. Sehingga Pancasila dapat menjelma sebagai sistem etika yang dapat mengawal para pengguna fasilitas digital. Lewat upaya ini kita berharap setiap satu langkah dari laju pembangunan bangsa tidak pernah lekang dari nilai dan prinsip Pancasila.
Lewat jalan ini, dimungkinkan setiap sumbangan peradaban global akan dapat berkontribusi secara efektif dan strategis bagi kemajuan bangsa dan masyarakat kita. Sebaliknya, model adaptasi Pancasila vis a vis digital diharapkan dapat berkontribusi bagi pola aksiologis digital oleh berbagai ideologi di dunia. ***
Oleh: Dr. Solahuddin Harahap, MA
( Ketua DPP Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan)